Kaki saya bengkak, dan hampir sudah tidak bisa diajak kompromi untuk berjalan-jalan. Saya memutuskan untuk kembali ke hostel saja mengingat sudah waktunya check in. Fernando juga tampaknya kecapekan karena katanya semalam dia tidak bisa tidur di dalam bis. Namun, Penang masih menyajikan banyak tempat yang belum saya kunjungi, maka opsi saya selanjutnya adalah : mengejar sunset di Batu Ferringhi.
Setelah berhasil check in, saya masuk ke room D nomor 19. Bentuk kamar dormitory yang saya pesan di Hostel Reggae Penang mirip dengan hotel kapsul. Satu kamar isi 12 orang, dengan tempat tidur berupa 'rak-rak' dua tingkat berjajar dengan desain interior bercat merah. Saya menempati rak paling atas, dan harus naik turun menggunakan tangga kayu dan berpegangan pada alumunium yang terpasang permanen di samping badan rak. Saya menyebutnya lemari manusia!.
Seusai mandi dan membersihkan diri, setelah berkeringat menjelajahi Georgetown saya beranjak ke internet corner yang merupakan fasilitas gratis. Mengecek beberapa email, mengaprove teman di facebook, browsing dan blogwalking, sambil menunggu jarum jam di tangan saya beranjak ke angka tiga.
Jam tiga kurang, saya hanya mengambil camera pack saja kemudian turun lalu menjemput Fernando di hostel depan. Kaki saya masih tidak bisa kompromi, tetapi saya paksakan. Baru berjalan beberapa langkah, ternyata bus Rapid Penang nomor 401 melintas di hadapan kami. Saya berusaha melambaikan tangan kepada supir untuk meminta ijin naik, ternyata supirnya bilang : "next stop please" tanpa suara – karena terhalang kaca bus. Satu-satunya isyarat yang saya tahu selain gerakan bibirnya adalah tangannya yang menunjuk-nunjuk arah depan.
Beruntung saat itu jalan sedang macet, sehingga langkah kaki saya mampu mendahului badan bus. Saya berhasil naik bus ini dari halte di Jalan Penang, depan pasar Chowrasta.
Menaiki bus Rapid Penang ternyata ada tekniknya. Memang sebaiknya menyiapkan uang pas karena masuk bus harus melalui pintu depan. Satu-satunya petugas hanya pengemudi itu. Setelah menanyakan berapa harga menuju tujuan akhir, kita akan diminta untuk memasukkan uang ke dalam kotak yang ada disamping pengemudi. Setelah memasukkan uang, kita diberikan selembar tiket sebagai tanda terima sesuai dengan nominal ringgit yang kita masukkan. Saya banyak membaca di beberapa blog yang mengatakan bahwa jika uang yang diberikan besar, maka tidak ada kembaliannya karena kotaknya terkunci. Tapi itu tidak terbukti koq, karena bayar dengan pecahan besar pun akan ada kembaliannya selama kita minta. Supirnya pun ramah-ramah, selama saya menaiki bus Rapid Penang jika saya salah jurusan atau salah naik bis, supirnya akan bilang dan menunjukkan nomor bis yang seharusnya. Oh iya, selain bus nomor 401, ada juga bus 402 yang juga melewati Batu Ferringhi.
Selama satu jam berikutnya, setelah melewati Toy Museum, Floating Mosque atau mesjid terapung, di kawasan Tanjung Bunga melewati jalan menanjak dengan rimbunan pepohonan di samping kiri, akhirnya sampai juga di kawasan yang penuh dengan hotel mewah di kiri dan kanan. Mulai dari Holiday Inn, Hardrock Penang, Park Royal, tetapi saya turun persis di dekat Shangri-La Hotel di Jalan Batu Ferringhi. Dari situ, saya tinggal jalan sebentar menuju ke pantai.
Ngomong-ngomong soal kawasan Tanjung Bunga dan Mesjid Terapung yang saya lewati di Penang, saya jadi teringat kawasan ini sama persis dengan yang ada di Makassar. Di Makassar, ada juga kawasan yang bernama Tanjung Bunga. Itu tempatnya Trans Studio Theme Park. Dan, ngomong soal Mesjid Terapung, di sisi sebelah selatan anjungan Pantai Losari sekarang sedang dibangun mesjid Al-Makazzari yang konsepnya menjorok ke lautan sehingga jika air pasang terlihat seperti mengapung. Entah ini Penang duluan yang punya ide lalu dicontoh oleh Makassar sehingga punya nama kawasan dan objek yang sama, ataukah Makassar dulu yang punya ide tetapi kalah realisasinya dibanding Penang?. Saya kurang tahu. Tetapi sepertinya yang pertama lebih masuk akal deh.
Sampai di pantai Batu Ferringhi, saya langsung teringat Bali. Mirip Kuta, tetapi lebih bagus Pantai Kuta kemana-mana. Pasirnya memang putih, dan bentuknya seperti gula pasir. Kalau saja tidak ingat warnanya yang putih krem kecoklatan, mungkin saya sudah pengen buat menjilatinya. Di pantai, ramai banget sama aktivitas manusia. Mulai dari bule berjemur sambil membaca, bule berenang, sampai water sport activity seperti main parasailing atau banana boat dan jetski.
Saya memilih tempat yang kosong dan meletakkan sandal, sambil menyelonjorkan kaki. Membenamkan jari-jari kaki saya ke pasir pantai. Hangat, dan cukup meredam rasa lelah karena berjalan kaki. Sambil memandang lautan, agak keruh karena cuaca sedang masuk musim hujan membuat saya mengurungkan niat untuk berenang. Alasan terutama sih karena saya juga baru saja mandi, dan saya nggak mau badan lengket-lengket berasa asin.
Sambil ngobrol, saya menikmati kuaci yang dibawa oleh Fernando. Seru ternyata sensasi makan kuaci berpadu dengan melihat lautan. Kami berbincang bahwa Batu Ferringhi adalah tempat yang sangat tepat untuk membuang uang. Kenapa?. Melihat daftar harga water sport activity yang ditampilkan rasanya hanya memang diperuntukkan untuk orang-orang berduit. Bayangkan, hanya untuk parasailing selama 10 menit dikenakan 80 RM per orang atau sekitar Rp. 240.000,-. Ingat, hanya sepuluh menit saja, dan terkadang tidak sampai, karena saya dan Fernando sempat menghitungi waktu setiap parasailer yang lagi beraksi.
Sebenarnya uang bukan alasan utama yang membuat saya mengurungkan niat untuk berparasailing, tetapi melihat parasailer yang sudah-sudah saya jadi khawatir tentang safety procedure yang dijalankan. Terlebih karena operatornya semuanya India, dan berkulit hitam semua. Udah tahu donk ya pengalaman buruk saya dengan orang melayu India di chapter 10?. Bayangkan, setahu saya parasailing yang mengikuti prosedur kan menggunakan safety helmet dan gloves di tangan untuk menarik kemudi selain jaket pelampung tentu saja. Dari semua alat itu, disini hanya dipakai jaket pelampung saja. Selebihnya, serahkan pada takdir.
Mana udah gitu beberapa kali saya lihat ketika parasailer sudah di atas, tidak ada petugas yang memberi tahu dari bawah dengan bendera bagian tangan mana yang harus ditarik untuk menyeimbangkan posisi. Kiri atau Kanan?. Jadi orang-orang berduit itu ya begitu naik udah pasrah aja kayak gagang layangan ditarik-tarik. Begitu turun apalagi, cuman diteriak-teriakin untuk menarik kencang tali di salah satu sisi. Hasilnya, sering kabel penghubung antara parasailer dengan boatnya nyasar kemana-mana. Jadilah operator kadang ngusir orang-orang yang lagi enak-enak berjemur hanya untuk tempat mendarat si parasailer. Kalo menurut saya sih lebih aman di Bali kalo mau parasailing, lebih bagus juga pemandangannya. Lagian, kalo mati kan di negeri sendiri bukan dinegeri orang #plak.
Pandangan saya tertarik pada satu bagian pantai di ujung. Di bagian itu ternyata terdapat tumpukan batu-batu granit besar yang mengingatkan saya akan Belitong – negeri laskar pelangi. Saya mengajak Fernando, dan dia menggeleng enggan dengan berkata "tampaknya itu terlalu jauh". Tapi saya bilang, "Saya pengen kesana, kalau kamu tidak mau kamu bisa tinggal disini, nanti ketemu lagi disini". Namun akhirnya dia mengalah dan mengikuti saya.
Sepanjang perjalanan menuju ke bagian pantai yang saya maksud itu, dengan bertelanjang kaki saya berjalan menyisir pantai sambil kaki beradu dengan ombak yang pecah. Dingin, seru, dan menentramkan. Saya menemukan kedamaian ketika kaki saya bermain-main dengan ombak, rasanya seperti menemukan teman baru yang mengajak bermain-main dan menggoda saya. Kadang terlihat besar, namun begitu pecah dipantai hanya riak kecil. Atau sebaliknya, ombaknya terlihat jinak tetapi cipratannya cukup besar dan membuat basah celana.
Sampai di sudut yang dimaksud, ternyata sepi pengunjung. Hanya ada dua tiga orang saja yang memancing disitu. Saya memutuskan untuk memanjat batu-batu disini. Unik, seperti ada yang menyusunnya, ada yang besar dan ada yang kecil. Nggak pake lama-lama, akhirnya saya unjuk gigi disini. Dan Fernando lah yang membantu saya untuk mengambil gambar di beberapa sudut.
Saya ternyata salah perkiraan. Batu Ferringhi terletak di sebelah utara Pulau Penang. Tidak mungkin matahari tenggelam di sebelah utara. Apalagi ternyata saat waktu menunjukkan pukul 5.30 sore, saya malah melihat gulungan awan hitam berarak cepat. Mendung dan gelap. Apa boleh dikata, karena saya tidak membawa payung maka saya buru-buru mengajak Fernando pulang.
Lima belas menit berikutnya terbukti, didalam bus Rapid Penang 401 hujan pun turun dengan derasnya. Beruntung saya tepat waktu meninggalkan Batu Ferringhi, sebab kalau tidak mungkin saya harus masuk angin karena kebasahan oleh hujan.
Sepulang dari Batu Ferringhi sebenarnya ada niatan untuk turun di Gurney Drive atau Persiaran Gurney. Katanya, tempat ini tempat yang happening di waktu malam hari karena penuh dengan pusat perbelanjaan dan food hawker. Niat awalnya mau makan malam disini, sehingga pas bilang ke supirnya waktu membayar tujuan akhirnya sih di Gurney Drive – yang lebih murah beberapa sen dibanding dengan berangkat awalnya tadi. Namun sayang, karena saya tidak tahu dimana titik pemberhentiannya sedangkan Fernando tertidur, dan jalur bisnya ternyata agak berbeda dengan ketika berangkatnya maka Persiaran Gurney terpaksa kami lewatkan. Kami pun akhirnya turun di Komtar lagi. Tanpa membayar biaya tambahan, untung saja.
Saya jadi berpikiran licik, karena bus Rapid Penang itu petugasnya hanya satu yaitu si pengemudi yang nggak bakal ngecek satu persatu tiap penumpang udah turun sesuai tujuannya atau tidak, maka bisa saja pada saat naik bilang mau turun di mana (dengan jarak yang dekat) padahal turunnya dimana (jarak lebih jauh). Bayarnya tentu lebih murah donk!. Saya sih nggak ngelakuin, cuman sempat terpikir aja. Kalau mau coba, dosa ditanggung sendiri ya!.
------------------------------------------
Masih mau cokelat Malaysia??. Klik Disini yaa untuk cari tahu bagaimana caranya?
Full content generated by Get Full RSS.